Strategi Pengendalian Demam Berdarah Dengue: Simpul Ketahanan Kesehatan Bangsa dan Peran Organisasi Profesi IDI Menuju One Health Community
- Administrator
- Rabu, 28 Mei 2025 22:01
- 78 Lihat
- Rilis Berita
Brigjen TNI Purn. Dr.dr.Soroy Lardo, SpPD KPTI FINASIM
Spesialis Penyakit Dalam - Konsultan Penyakit Tropik Infeksi
Ketua Bidang Publikasi Ilmiah PB IDI
Alumni TOT Lemhannas TA 2022
Pendahuluan
Apakah Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat kita kaji dan diskusikan dalam perspektif Health Resilience? Suatu tantangan multi kolaboratif yang melibatkan keilmuan, epidemiologi dan kesehatan matra. Kenapa demikian ? Mengingat DBD merupakan penyakit infeksi yang ’unik’ tidak semata penyakit infeksi dan komunitas, dalam situasi tertentu (outbreak) akan menyibukkan para pihak, bahkan kadang memerlukan pelibatan beragam sektor.
Saat ini dan di bulan-bulan ke depan di musim penghujan secara klasik kasus DBD akan meningkat, seiring dengan perubahan cuaca dan hal tersebut merupakan kondisi yang memerlukan kesiapsiagaan baik layanan primer dalam deteksi dan jemput bola kasus untuk ditangani awal, dan menentukan stratifikasi penyakit untuk rujukan DBD yang berpotensi memberat.
DBD tidak bisa dilepaskan dari anomali cuaca yang berakibat bencana di berbagai daerah di Indonesia, namun satu aspek yang tidak boleh dilupakan, keniscayaan penyakit ini akan berkembang masif secara klinis, komunitas dan berpengaruh terhadap produktivitas kerja. Setidaknya, pemahaman perjalanan klinis (fase viremia - fase kritis - fase recovery) , perjalanan epidemiologi (pengendalian vektor) dan pemeliharan kualitas hidup pasien (imunologi) hendaknya menjadi salah satu perhatian utama.
Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit infeksi yang memiliki entitas klinis dan komunitas dengan beragam varian dinamik, karakteristik dan kinetik virusnya memiliki kemampuan virulensi dan penetrasi yang ”khas”. Hal ini dapat diamati kondisi setiap tahun atau siklus lima tahunan, seakan tidak tuntas, angka kematian dan kesakitan tetap tinggi. Bahkan dalam pengamatan penulis sebagai peneliti dengue saat menjalani pendidikan S3 di UGM, menemukan variasi kasus yang memerlukan pendekatan berbeda. WHO tahun 2009 menerbitan guidelines terkait perjalanan klinis adanya fase kritis, penanda kewaspadaan terhadap dengue. Bahkan WHO 2011 mengupas lebih dalam adanya kasus-kasus dengue yang tidak biasa (atipikal) bersamaan dengan penyakit infeksi lainnya.
DPR RI pada tanggal 26 Mei 2025 menyelenggarakan High Level Focus Group Discussion Koalisi Bersama (Kobar) lawan Dengue, yang melibatkan stake holder dan organisasi profesi perhimpunan. Hal menarik adalah data situasi dengue hingga 2024, tercatat lebih dari 257.000 kasus dan 1.461 kematian, jumlah tertinggi di Asia tenggara. Kondisi ini tentunya memerlukan kolaborasi dan komitmen bersama yang bernafaskan sinergitas dan kesetaraan, termasuk peran organisasi profesi (IDI) dengan kapasitas dan kompetensi sumber daya-nya.
Perspektif keilmuan yang terus berkembang
DBD ibaratnya bunga cantik yang akan disemai setiap tahun. Demikian juga dengan keilmuan yang terus berkembang, istilah kerennya, DBD merupakan penyakit infeksi yang menautkan simpul hulu dan hilir, meliputi karakteristik virus dengan varian dinamiknya, sampai dengan pendekatan komunitas (teknologi dan ekosistem lingkungan) yang berpacu dengan proses mutasi itu sendiri.
DBD sebagai ‘reemerging disease’ dengan empat serotipe virus yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti melalui tiga fase perjalanan klinis yang sudah disebutkan diatas, jika tidak dikelola secara tepat akan menyebabkan kematian. Pemahaman karakteristik virus sangat penting, sebagai virus RNA yang memiliki varian beratnya penyakit, dari demam ringan sebagai demam dengue hingga yang mengancam nyawa sebagai demam berdarah dengue dan dengue shock syndrome (DSS). Kesulitan utama diagnosis adalah saat awal penyakit, yakni tidak ada manifestasi yang jelas atau asimtomatik.
Gejala yang umum terjadi seperti nyeri bagian belakang mata (retro orbital) dan bintik merah pada kulit (petechiae) tidak muncul hingga tahap akhir penyakit. Beberapa faktor yang berperan adalah muatan virus (viral load) dan faktor imunitas tubuh (host) dalam perkembangan penyakit. Viral load menggambarkan virulensi, pertumbuhan tinggi (in-vivo) atau berkonsekuensi terhadap terhadap respon imun tubuh. Variasinya berbeda secara individual bahkan hari demi hari post infeksi. Gejala yang memiliki potensi memberat pada DBD adalah pendarahan spontan, kebocoran plasma ( cairan pembawa darah) dan trombositopenia.
Mengingat kompleksitas DBD secara klinis, interaksi dinamis agen virus dengan respon kekebalan tubuh (imunopatogenesis) menuai upaya dan kerja keras melihat DBD secara holistik yaitu sejauhmana upaya prediksi dan proteksi dapat dilakukan terhadap pasien yang masuk ke UGD rumah sakit. Selain memahami perjalanan klinis, alat diagnostik seperti pemeriksaan NS1 Antigen dapat digunakan untuk prediksi awal demam terhadap perkembangan individual pasien saat memasuki fase viremia dan fase kritis, pendekatan intelijen klinis sangat dibutuhkan, sebagai upaya pasien tidak jatuh menjadi DSS.
Dialektika Perspektif Epidemiologi
WHO melaporkan sekitar 50 sampai 100 juta kasus infeksi dengue terjadi setiap tahunnya. Dari kasus-kasus ini, sekitar 500.000 berlanjut menjadi demam berdarah dengue yang menyebabkan 22.000 kematian. Pada Tahun 2015, tercatat terdapat sebanyak 126.675 penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang di antaranya meninggal dunia. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 100.347 penderita DBD dan sebanyak 907 penderita meninggal dunia pada tahun 2014. Mayoritas kematian terutama terjadi pada anak-anak di bawah usia 15 tahun. Prevalensi kejadian demam berdarah dengue (DHF) pada tahun 2017 di Indonesia sebesar 68.407 kasus, dengan kasus tertinggi terjadi di 3 (tiga) provinsi di Pulau Jawa, yaitu Jawa Barat dengan total kasus sebanyak 10.016 kasus, Jawa Timur sebesar 7.838 kasus dan Jawa Tengah 7.400 kasus. Sedangkan untuk jumlah kasus terendah terjadi di Provinsi Maluku dengan jumlah 37 kasus
Perspektif epidemiologi mengemuka sejak adanya penelitian wolbachia dari Elimination Dengue Project (EDP) UGM, penelitian yang sudah dimulai sejak 2011 di Yogyakarta. Penelitian ini bergerak dari spirit riset DBD yang sudah berjalan di Komunitas Dengue UGM akan kebutuhan suatu terobosan riset yang memberikan dua kemanfaatan yaitu memetakan multi faktorial dan parameter prediksi DBD. Parameter prediksi multifaktorial dapat dilihat dari dua aspek, pertama aspek hulu dan kedua aspek hilir. Aspek hulu mencakup kondisi perubahan cuaca, perilaku hidup sehat dan kesehatan lingkungan, termasuk berbagai kebijakan dan SOP (Standar Operational Procedure) yang dipersiapkan dalam mengantisipasi terjadinya suatu kejadian luar biasa berdasarkan pendekatan early warning. Aspek hilir mencakup perjalanan klinis (termasuk patogenesis) yang terkait dengan keadaan sistem daya tahan tubuh (imun) dan tingkat beratnya pasien saat masuk ke rumah sakit.
Kelembaman tinggi memiliki peran penting terhadap perubahan cuaca dan anomali terhadap penyebaran penyakit, dengan perubahan bionomik vektor dalam daya tahan hidup, densitas nyamuk yang memperluas proses penyebarannya. Menurut Gento Harsono (2013) dan Suharyo Hadi Saputro (2009) adanya pengaruh IOD (Indian Ocean Dipore) negatif dengan intensitas hujan yang tinggi memberikan habitat optimum nyamuk lebih aktif menjalani proses perkawinan pada stadium awal proses nyamuk Aedes aegypti. Perspektif epidemiologi terhadap penyebaran nyamuk, menumbuhkan spirit wolbachia sebagai salah satu peta jalan
Wolbachia sebagai inovasi baru penanggulangan DBD mengemuka kembali dalam webinar ASEAN Dengue Day 2023, 15 Juni 2023 dengan topik ”Bagaimana Indonesia Mempersiapkan Implementasi Inovasi agar Zero Dengue Death by 2030 Tercapai? ” Kita pahami pencegahan DBD dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pemberian vaksin kepada masyarakat dan perkawinan nyamuk dengan pendekatan teknologi agar nyamuknya tidak dapat menyebarkan virus aedes aegypti. Teknologi wolbachia adalah inovasi yang dapat melumpuhkan virus dengue dalam tubuh nyamuk aedes aegypti, sehingga virus dengue tidak akan menular ke dalam tubuh manusia. Beberapa harapan dan kendala mengemuka, bahwa program kebijakan pengendalian DBD baik pencegahan, deteksi dini dan manajemen di Yogyakarta lebih efektif dengan adanya teknologi wolbachia, namun pengembangannya menghadapi tantangan dalam inovasi penanggulangan DBD yaitu penyediaan dan kecukupan telur ber-wolbachia, perencanaan kegiatan dan pembiayaan serta pemberdayaan masyarakat untuk memperkuat program ini. Mengkaji uraian diatas, setidaknya kita mendapatkan dialektika epidemiologi dengan perspektif baru.
Dialektika Perspektif Produktivitas Kerja dan Ketahanan Bangsa
Mengapa DBD masih eksis hingga saat ini? Walaupun berbagai pola pendekatan sudah dicoba. Namun DBD dalam perjalanan penyakitnya menelan korban ratusan jiwa seolah sebagai pembunuh diam-diam. Kemungkinan masih tingginya morbiditas dan mortalitas diakibatkan oleh resultante faktor lingkungan, perilaku, fisik, sosial, ekonomi dan sosial. Perilaku hidup sehat, kesehatan lingkungan dan komunikasi publik merupakan faktor utama yang menjadi perhatian penting, yaitu paradigma integrasi budaya hidup sehat secara optimal belum dijalankan.
Salah satu contoh misalnya hal yang selalu ditanyakan oleh pasien yang baru dirawat di rumah sakit ‘Dokter, apakah besok saya sudah bisa kerja, soalnya banyak tugas penting yang harus diselesaikan’ Sudah tentu hal ini tidak mudah dijawab. Berdasarkan perspektif perjalanan infeksi, ada fase recovery yang membutuhkan proses menuju keseimbangan menurunya tingkat virulensi dengan meningkatnya adaptasi sistem imunitas tubuh, sebab tubuh kita tidak seperti mobil dengan sistem engine - nya langsung hidup dan bergerak, sel-sel tubuh kita memerlukan suatu proses enzimatis dan biokimia tertentu untuk mengaktifkan energi-energi dan imunitas baru.
Produktivas kerja merupakan salah satu dampak terbentuknya energi baru, dengan demikian istirahat yang cukup merupakan keniscayaan. Berdasarkan data tahun 2001 terhadap dampak DBD terhadap kesehatan, sosial dan ekonomi adanya suatu Disability-Ajusted Life Years (DALYs) yang hilang tahun 2001 sebesar 528. Penelitian di Puerto Rico (1984 dan 1994), perkiraan tahunan dari 580 DALYs per satu juta penduduk hilang akibat Dengue sama dengan total kumulatif DALYs lost malaria, tuberkulosis, penyakit cacing dan penyakit anak di Amerika Latin dan Karibia. Sedangkan Di Asia Tenggara berdasarkan studi prospektif terhadap anak sekolah, rata-rata annual burden Dengue periodik 5 tahun didapatkan 465.3 DALYs per satu juta penduduk, dengan pasien yang tidak dirawat berkontribusi sebesar 44 - 73 %. Alangkah baiknya ke depan diadakan penelitian multisenter terkait beban infeksi dengue terhadap produktivitas kerja dengan elemen-elemen yang terukur.
Bagaimana prospek teknologi Wolbachia selanjutnya ? setidaknya penelitian ini membuka perspektif out the box untuk merekatkan sistem pengendalian dengue dari faktor hulu dan faktor hilir yaitu melihat perspektif dengue tidak semata klinis dan komunitas, namun berkelindan dengan kesehatan dan ketahanan (health resiliense) bangsa, yaitu melihat dimensi DBD berdasarkan titik tolak objektivitas, komprehensif, merubah paradigma serta menautkan simpul penanggulangan DBD dalam satu koneksitas terpadu. Sinergitas yang dibentuk adalah teknologi wolbachia sebagai transformasi kesehatan yang bertitik tolak kepada kemandirian kesehatan, legislasi kebijakan, kemitraan kesehatan dan ketahanan, kesiapan geomedik dan kebencanaan terangkum dalam tiga kerangka trilogi kesehatan yaitu Sistem Kesehatan Nasional, Sistem Kesehatan Pertahanan dan Gerakan Masyarakat Sehat (Germas)
Peranan Organisasi Profesi Ikatan Dokter Indonesia
IDI sebagai mitra strategis kebijakan kesehatan negara dengan sumberdaya yang dimiliki, tentunya memiliki peran penting dalam pengendalian DBD baik dari simpul hulu dan simpul hilir, dengan tema utama One Health Community. Mengingat DBD tidak semata penyakit yang berbasis klinis, namun penyebaran penyakitnya memerlukan pendekatan multidisiplin dan berorientasi kepada kebijakan yang mengutamakan community strategy preventive. Peran strategis ini akan memberikan kontribusi penting sebagai kemitraan kemenkes di bidang kebijakan dan kemitraan masyarakat di bidang implementasi. Kemitraan dengan Kemenkes turut serta menyusun pola kebijakan dan implementasi yang terintegrasi yang dapat mengisi dua sisi yaitu menurunnya angka kematian dan kesakitan pasien DBD di setiap layanan primer dan layanan kesehatan lanjutan dengan senantiasa meng-update guidelines WHO dengan kondisi faktual di lapangan dan mengembangkan strategi preventif komunitas melalui kolaborasi penyebaran informasi, simulasi lapangan terkait dengan penilaian risiko awal dan langkah evakuasi ke rumah sakit yang dipahami oleh masyarakat di setiap desa.Kemampuan IDI sebagai jembatan sinergitas dalam pencegahan DBD merupakan kunci yang dapat ditautkan dengan program-program pemberdayaan Kemenkes di bidang DBD
Kesimpulan
DBD merupakan infeksi virus yang berdampak multisektor, tidak semata dalam tataran klinis namun juga tataran komunitas. Teknologi Wolbachia merupakan terobosan yang membuka simpul hulu dan hilir Demam Berdarah Dengue bergerak dinamis dalam arena kesehatan preventif yang merekatkan multifaktorial dan faktor prediktif perjalanan klinis DBD sebagai peta jalan protektif yang didukung oleh sinergitas ketahanan dan kesehatan, untuk memperkuat sumber daya komunitas memiliki kualitas hidup sehat dan produktivitas kerja lebih baik. Kontribusi organisasi profesi IDI memiliki peran sebagai jembatan sinergitas tatakelola kebijakan dan implementatif secara integratif untuk terjaganya stabilitas derajat kesehatan masyarakat.
Kepustakaan:
WHO. 2009. Dengue: Treatment, Prevention, and Control New Edition
https://iris.who.int/bitstream/handle/10665/44188/9789241547871_eng.pdf?sequence=1
WHO. 2011.Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue, and Dengue Hamorrahagic Fever.
Leonard Nainggolan: Pengembangan Sistem Skor Sebagai Prediktor Kebocoran Plasma Pada Demam Berdarah Dengue: Peran sTNFR-1, VEGF, sVE - Cadherin Dalam Patofisiologi Kebocoran Plasma. Ringkasan Disertasi Doktor FKUI, 2012
Hadisaputro S. Global Warming and Incidence of Tropical Infectious Disease. Dalam Hadi, Suharto, Nasronudin, Bramantono, Vitanata M et.al. Meningkatkan Mutu dan Pelayanan Prima di Bidang Penyakit Tropik - Infeksi dalam menyongsong Era Globalisasi. Buku Proseding Kongres Nasional Petri XV; 2009. h 30-40
Wholbacia Inovasi Baru dalam Penanggulangan DBD.
https://fkkmk.ugm.ac.id/wolbachia-inovasi-baru-dalam-penanggulangan-dbd/09
Lardo, S. Infeksi dan Transformasi. Republika 29 Juni 2013.
Nathan, M. B., Drager, R. D., Guzman, M. (2009) Epidemiology, burden of disease and transmission. In: Dengue Guidelines for 125 Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. New Edition.WHO:3-17.
Sanyaolu A. Global Epidemiology of Dengue Hemorrhagic Fever: An Update. Journal of Human Virology & Retrovirology. 2017;5(6).