Antibodi NS1 Demam Berdarah Dengue : Fungsi Prediktif dan Protektif
- Administrator
- Rabu, 08 Mei 2024 04:01
- 412 Lihat
- Buku Inovasi
ANTIBODI NS1 DEMAM BERDARAH DENGUE : FUNGSI PREDIKTIF DAN PROTEKTIF
Oleh :
Soroy Lardo
Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta
Demam Dengue (DD) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan “reemerging disease” penyakit tropik di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh empat jenis virus yang disebarkan oleh nyamuk betina Aedes aegypti. DBD dan Dengue Shock Syndrome (DSS) telah menunjukkan beratnya perkembangan penyakit. Kondisi tersebut jika tidak dikelola dengan tepat akan menyebabkan kematian. Demam Dengue sulit untuk dibedakan dengan demam karena virus lain, serta dapat mengacaukan dalam tatalaksana dan pengamatan penyebaran untuk mencegah transmisi virus (Birnbaumer, 2007). Menurut laporan WHO, secara global dengue meningkat sampai tiga puluh kali lipat dalam lima dekade terakhir. Dari 2,5 milyar penduduk dunia diperkirakan terdapat 50-100 juta kasus setiap tahunnya lebih dari 100 negara endemis. Setiap tahun, 100 ribu kasus meningkat dengan 20.000 kematian (Dash et al., 2009; Villar et al., 2008; Nathan et al., 2009).
DBD menimbulkan beban terhadap masalah kesehatan, sosial dan ekonomi di daerah endemik. Secara global jumlah Disability-Adjusted Life Years (DALYs) yang hilang tahun 2001 sebesar 528. Penelitian di Puerto Rico (1984 dan 1994), perkiraan tahunan dari 580 DALYs per satu juta penduduk hilang akibat dengue, sama dengan total kumulatif DALYs lost malaria, tuberkulosis, penyakit cacing dan penyakit anak di Amerika Latin dan Karibia. Di Asia Tenggara berdasarkan studi prospektif terhadap anak sekolah, rata-rata annual burden dengue periodik 5 tahun didapatkan 465,3 DALYs per satu juta, dengan pasien yang tidak dirawat berkontribusi sebesar 44-73% (Nathan et al., 2009).
Virus dengue adalah virus RNA untai tunggal yang tergolong famili Flaviridea, genus Flavivirus dan secara antigenik dibedakan menjadi DENV-1, DENV-2,DEN V-3 dan DENV-4. Infeksi virus dengue berhubungan dengan variasi beratnya penyakit, dari demam ringan sebagai demam dengue hingga yang mengancam nyawa sebagai demam berdarah dengue dan dengue shock síndrome (Feng et al., 2001). Kesulitan utama diagnosis adalah pada saat awal penyakit, yakni tidak ada manifestasi penyakit yang jelas atau asimtomatik. Gejala yang umum terjadi seperti nyeri retro orbital dan petechiae tidak muncul hingga tahap akhir penyakit. Diagnosis awal, memerlukan uji laboratorium untuk menyesuaikan deteksi setiap tingkatan DBD yang cukup mahal seperti Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction, isolasi virus, dan NS1 protein virus dengue (Birnbaumer, 2007; Villar et al., 2008).
Demam berdarah dengue mempunyai gejala trombositopenia, pendarahan spontan dan kebocoran plasma yang gradual sehingga dapat menyebabkan syok (Villar et al., 2008). Mekanisme patogenesis DBD/DSS masih belum jelas, salah satu hipotesis adalah pada pasien terbentuk Ig G terhadap dengue. Antibodi ini berkembang menjadi antibodi yang berfungsi menghambat replikasi virus (neutralizing antibody) dan antibodi yang memicu replikasi virus dalam monosit (infection enchancing antibody). Aktivasi imun meliputi komplemen, monosit/makrofag, limfosit serta produksi sitokin, merupakan faktor penting dalam patogenesis DBD. Hipotesis lain adalah variasi virus yaitu virulensi dan dinamiknya yang dapat menyebabkan dengue berat (Feng et al., 2001; Nasronudin, 2008).
Hipotesis antibody dependent enhancement (ADE) dianggap berperan penting terhadap infeksi DBD. Hipotesis ADE menerangkan manifestasi berat DBD/DD yang terjadi pada anak setelah infeksi sekunder virus dengue dengan serotipe berbeda dari yang pertama. Terdapat antibodi dari virus sebelumnya yang tidak dapat menetralisasi, tetapi meningkatkan infeksi secara in vitro. Serum pada anak yang berkembang DBD/DSS, ADE lebih tinggi secara in vitro dibandingkan DD (Lei et al., 2008). Hipotesis alternatif lainnya adalah virulensi virus dengan berbagai varian virus dan derajat virulensi berbeda yang menyebabkan manifestasi berbeda terhadap DD, DBD, dan DSS, dikaitkan dengan serotipe dengue dan perbedaan struktural serotipe lain. Hal ini didapatkan dengan tingginya titer viremia dihubungkan dengan meningkatnya berat penyakit. Penelitian pada anak-anak di Thailand didapatkan titer puncak diantara 10-100 kali lipat pada pasien DSS dibandingkan DBD (Lei et al., 2008).
Beberapa faktor lain yang berperan adalah viral load dan host factor dalam perkembangan penyakit dengue. Viral load menggambarkan virulensi, pertumbuhan tinggi (in vivo) atau berkonsekuensi terhadap respon imun pejamu.Variasinya berbeda secara individual bahkan hari demi hari post infeksi, yang dapat meningkat dengan cepat sejak hari pertama demam(Lei et al., 2008). Beratnya manifestasi klinis penyakit dengue dipengaruhi oleh berbagai faktor internal yaitu ras, HLA, usia, produksi serta sekresi sitokin monosit dan sel T. Faktor eksternal yaitu virulensi virus dengue, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi neurologis (Nasronudin, 2008).
Virus dengue menginduksi makrofag untuk memproduksi enzim Fosfolipase A2 (PLA2). PLA2 merupakan enzim super familia menghidrolisis membran fosfolipid sel endotel menjadi Lisofosfolipid (LysoPL) dan asam lemak bebas. PLA2 merupakan baik enzim sekretori maupun intraseluler. PLA2 setelah berikatan dengan protein, mengaktivasi metabolisme asam arakhidonat, menginduksi biosintesis eikosanoid: prostaksilin, tromboksan, prostaglandin dan leukotrin. Kondisi ini berakibat kebocoran endotel dan potensi perembesan plasma yang mendorong terjadinya DSS. Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma dari dinding kapiler yang terjadi pada fase penurunan suhu (fase a-febris, fase kritis, fase syok) (Nasronudin, 2008). Dalam infeksi DBD, yang perlu mendapatkan perhatian adalah perpindahan plasma dan trombositopenia serta berbagai penyulit dari keduanya. Beberapa penyulit yang dapat mendorong kematian penderita adalah pendarahan otak, pendarahan saluran cerna, kelumpuhan otot serta saraf jantung dan syok akibat perpindahan plasma (Nasronudin, 2008).
NS1 merupakan protein virus nonstruktural-1, sebagai glikoprotein yang highly conserved, merupakan regio penting dalam viabilitas virus namun tidak memiliki aktivitas biologis. Tidak seperti glikoprotein yang lain, NS1 diproduksi baik dalam bentuk yang berhubungan dengan membran sel maupun dalam bentuk yang disekresikan. Antigen NS1 terdapat baik pada infeksi primer maupun infeksi sekunder. Antigen NS1 dapat dideteksi dalam 5-6 hari pertama demam, yang terdapat baik pada serotipe DEN-1 (terbanyak) maupun DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Antigen NS1 dideteksi dengan metode enzyme–linked immunosorbent assay (ELISA) (Dussart and Labeau, 2006; Aryati, 2008). Antigen NS1 dapat pula dideteksi pada sediaan apusan darah tebal dan tipis di sitopasma monosit dan limfosit penderita demam hari ke-1 sampai hari ke-7 yang terinfeksi DEN V-1 (terbanyak), DEN V-3, dan DEN V-4 dengan metode imunositokimia streptavidin biotin peroxidase complex (SBPC) menggunakan antibodi monoklonal anti- dengue (DSSC7) produksi UGM (Umniyati et al., 2007; Umniyati et al., 2010). Dengan baku emas metoda RT-PCR sensitivitas dan spesifisitas metode imunositokimia pada apusan darah tersebut adalah sebesar 94% dan 90% (Mulyaningrum, 2010).
Pendekatan imunopatogenesis DBD terdiri dari: 1) Serotipe antibodi cross reactive dari ikatan infeksi sebelumnya tanpa netralisasi yang meningkatkan masuknya virus ke dalam monosit; 2) Tahap berikutnya terjadi peningkatan aktivasi sel T cross reactive yang memproduksi sitokin (IFN g, IL-2 dan TNFα (juga dari monosit); 3) Kaskade komplemen diantara antibodi virus kompleks dan beberapa sitokin, melepaskan C3a dan C5a yang berefek langsung terhadap permeabilitas kapiler; dan 4) Efek sinergistik IFN g, TNFα dan aktivasi komplemen protein mencetuskan kebocoran plasma pada sel endotel pada infeksi sekunder dengue (Lei et al., 2008).
PDF ANTIBODI NS1 PADA DEMAM BERDARAH DENGUE, KAJIAN ASPEK KLINIS, FUNGSI PREDIKTIF DAN PROTEKTIF