Wolbachia Demam Berdarah Dengue: Simpul Ketahanan Kesehatan Bangsa

WOLBACHIA  DEMAM BERDARAH DENGUE:  SIMPUL KETAHANAN KESEHATAN BANGSA

Brigjen TNI Purn. Dr.dr.Soroy Lardo, SpPD KPTI FINASIM

Direktur UPNVERI - UPN Veteran Health Research Institute

Alumni TOT Lemhannas

 

Pendahuluan

            Apakah Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat kita kaji dan diskusikan dalam perspektif Health Resilience? Suatu tantangan multi kolaboratif yang melibatkan keilmuan, epidemiologi dan kesehatan matra. Kenapa demikian ? Mengingat DBD merupakan penyakit infeksi yang ’unik’ tidak semata penyakit infeksi dan komunitas, dalam situasi tertentu (outbreak) akan menyibukkan para pihak, bahkan kadang memerlukan pelibatan beragam sektor.

            Sebentar lagi, dibulan-bulan ke depan di musim penghujan secara klasik kasus DBD akan meningkat, seiring dengan perubahan cuaca dan hal tersebut merupakan kondisi yang memerlukan kesiapsiagaan baik layanan primer dalam deteksi dan jemput bola kasus untuk ditangani awal, dan menentukan stratifikasi penyakit untuk rujukan DBD yang berpotensi memberat.

            DBD tidak bisa dilepaskan dari anomali cuaca yang berakibat bencana di berbagai daerah di Indonesia, namun satu aspek yang tidak boleh dilupakan, keniscayaan penyakit ini akan berkembang masif secara klinis, komunitas dan  berpengaruh terhadap produktivitas kerja. Setidaknya, pemahaman perjalanan klinis (fase viremia - fase kritis - fase recovery) , perjalanan epidemiologi (pengendalian vektor) dan pemeliharan kualitas hidup pasien (imunologi) hendaknya menjadi salah satu perhatian utama.

Perspektif keilmuan yang terus berkembang

            DBD ibaratnya bunga cantik yang akan disemai setiap tahun. Demikian juga dengan keilmuan yang terus berkembang, istilah kerennya DBD merupakan penyakit infeksi yang menautkan simpul hulu dan hilir, meliputi karakteristik virus dengan varian dinamiknya, sampai dengan pendekatan komunitas (teknologi dan ekosistem lingkungan) yang berpacu dengan proses mutasi itu sendiri.

            DBD sebagai ‘reemerging disease’ dengan empat serotipe virus yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti melalui tiga fase perjalanan klinis yang sudah disebutkan diatas,  jika tidak dikelola secara tepat  akan menyebabkan kematian. Pemahaman karakteristik virus sangat penting, sebagai virus RNA yang memiliki varian beratnya penyakit, dari demam ringan sebagai demam dengue hingga yang mengancam nyawa sebagai demam berdarah dengue dan dengue shock syndrome (DSS). Kesulitan utama diagnosis adalah saat awal penyakit, yakni tidak ada manifestasi  yang jelas atau asimtomatik. Gejala yang umum terjadi seperti nyeri bagian belakang mata  (retro orbital) dan bintik merah pada kulit (petechiae) tidak muncul hingga tahap akhir penyakit. Beberapa faktor yang berperan adalah muatan virus (viral load) dan faktor imunitas tubuh (host) dalam perkembangan penyakit. Viral load menggambarkan virulensi, pertumbuhan tinggi (in-vivo) atau berkonsekuensi terhadap terhadap respon imun tubuh. Variasinya berbeda secara individual  bahkan hari demi hari post infeksi. Gejala yang memiliki potensi memberat pada DBD adalah pendarahan spontan, kebocoran plasma ( cairan pembawa darah) dan trombositopenia.

            Mengingat kompleksitas DBD secara klinis, interaksi dinamis agen virus dengan respon kekebalan tubuh (imunopatogenesis) menuai upaya dan kerja keras melihat DBD secara holistik yaitu sejauhmana upaya prediksi dan proteksi dapat dilakukan terhadap pasien yang masuk ke UGD rumah sakit. Selain memahami perjalanan klinis, alat diagnostik seperti pemeriksaan NS1 Antigen dapat digunakan untuk prediksi awal demam terhadap perkembangan individual pasien saat memasuki fase viremia dan fase kritis,  pendekatan intelijen klinis sangat dibutuhkan, sebagai upaya pasien tidak jatuh menjadi DSS.

 

Dialektika Perspektif Epidemiologi

            Perspektif epidemiologi mengemuka sejak adanya penelitian wolbachia dari Elimination Dengue Project (EDP) UGM, penelitian yang sudah dimulai sejak 2011 di Yogyakarta. Penelitian ini bergerak dari spirit riset DBD yang sudah berjalan di Komunitas Dengue UGM akan kebutuhan suatu terobosan riset yang memberikan dua kemanfaatan yaitu memetakan multi faktorial dan parameter prediksi DBD. Parameter prediksi multifaktorial dapat dilihat dari dua aspek, pertama aspek hulu dan kedua aspek hilir. Aspek hulu mencakup kondisi perubahan cuaca, perilaku hidup sehat dan kesehatan lingkungan, termasuk berbagai kebijakan dan SOP (Standar Operational Procedure) yang dipersiapkan dalam mengantisipasi terjadinya suatu kejadian luar biasa berdasarkan pendekatan early warning. Aspek hilir mencakup perjalanan klinis (termasuk patogenesis)  yang terkait dengan keadaan sistem daya tahan tubuh (imun)  dan tingkat beratnya pasien saat masuk ke rumah sakit.

            Kelembaman tinggi memiliki peran penting  terhadap perubahan cuaca dan anomali terhadap penyebaran penyakit, dengan perubahan bionomik vektor dalam daya tahan hidup, densitas nyamuk yang memperluas proses penyebarannya. Menurut Gento Harsono (2013) dan Suharyo Hadi Saputro (2009) adanya pengaruh IOD (Indian Ocean Dipore) negatif dengan intensitas hujan yang tinggi memberikan habitat optimum nyamuk lebih aktif menjalani proses perkawinan  pada stadium awal proses nyamuk Aedes aegypti. Perspektif epidemiologi terhadap penyebaran nyamuk, menumbuhkan spirit wolbachia sebagai salah satu peta jalan

            Wolbachia sebagai inovasi baru penanggulangan DBD mengemuka kembali dalam webinar ASEAN Dengue Day 2023, 15 Juni 2023 dengan topik ”Bagaimana Indonesia Mempersiapkan Implementasi Inovasi agar Zero Dengue Death by 2030 Tercapai? ” Kita pahami pencegahan DBD dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pemberian vaksin kepada masyarakat dan perkawinan nyamuk dengan pendekatan teknologi agar nyamuknya tidak dapat menyebarkan virus aedes aegypti. Teknologi wolbachia adalah inovasi yang dapat melumpuhkan virus dengue dalam tubuh nyamuk aedes aegypti, sehingga virus dengue tidak akan menular ke dalam tubuh manusia. Beberapa harapan dan kendala mengemuka, bahwa program kebijakan pengendalian DBD baik pencegahan, deteksi dini  dan manajemen  di Yogyakarta lebih efektif dengan adanya teknologi wolbachia, namun pengembangannya menghadapi tantangan dalam inovasi penanggulangan DBD yaitu penyediaan dan kecukupan telur ber-wolbachia, perencanaan kegiatan dan pembiayaan serta pemberdayaan masyarakat untuk memperkuat program ini. Mengkaji uraian diatas, setidaknya kita mendapatkan dialektika epidemiologi dengan perspektif baru.

Dialektika Perspektif Produktivitas Kerja dan Ketahanan Bangsa

            Mengapa DBD masih eksis hingga saat ini?  Walaupun berbagai pola pendekatan sudah dicoba. Namun DBD dalam perjalanan penyakitnya menelan korban ratusan jiwa  seolah sebagai pembunuh diam-diam. Kemungkinan masih tingginya morbiditas dan mortalitas diakibatkan oleh resultante faktor lingkungan, perilaku, fisik, sosial, ekonomi dan sosial. Perilaku hidup sehat, kesehatan lingkungan dan komunikasi publik merupakan faktor utama yang menjadi perhatian penting, yaitu paradigma integrasi budaya hidup sehat secara optimal belum dijalankan.

            Salah satu contoh misalnya hal yang selalu ditanyakan oleh pasien yang baru dirawat di rumah sakit ‘Dokter, apakah besok saya sudah bisa kerja, soalnya banyak tugas penting yang harus diselesaikan’ Sudah tentu hal ini tidak mudah dijawab. Berdasarkan perspektif perjalanan infeksi, ada fase recovery yang membutuhkan proses menuju keseimbangan menurunya tingkat virulensi dengan meningkatnya adaptasi sistem imunitas tubuh, sebab tubuh kita tidak seperti mobil dengan sistem engine - nya langsung hidup dan bergerak, sel-sel tubuh kita memerlukan suatu proses enzimatis dan biokimia tertentu untuk mengaktifkan energi-energi dan imunitas baru.

            Produktivas kerja merupakan salah satu dampak terbentuknya energi baru, dengan demikian istirahat yang cukup merupakan keniscayaan. Berdasarkan data tahun 2001 terhadap dampak DBD terhadap kesehatan, sosial dan ekonomi adanya suatu Disability-Ajusted Life Years (DALYs) yang hilang tahun 2001 sebesar 528. Penelitian di Puerto Rico (1984 dan 1994), perkiraan tahunan dari  580  DALYs per satu juta penduduk hilang akibat Dengue sama dengan total kumulatif DALYs lost malaria, tuberkulosis, penyakit cacing dan penyakit anak di Amerika Latin dan Karibia. Sedangkan Di Asia Tenggara berdasarkan studi prospektif terhadap anak sekolah, rata-rata annual burden  Dengue periodik 5 tahun didapatkan 465.3 DALYs per satu juta penduduk, dengan pasien yang tidak dirawat berkontribusi sebesar 44 - 73 %. Alangkah baiknya ke depan diadakan penelitian multisenter terkait beban infeksi dengue terhadap produktivitas kerja dengan elemen-elemen yang terukur.

            Bagaimana prospek teknologi Wolbachia selanjutnya ? setidaknya penelitian ini membuka perspektif out the box untuk merekatkan sistem pengendalian dengue dari faktor hulu dan faktor hilir yaitu melihat perspektif dengue tidak semata klinis dan komunitas, namun berkelindan dengan kesehatan dan ketahanan (health resiliense) bangsa, yaitu melihat dimensi DBD berdasarkan titik tolak objektivitas, komprehensif, merubah paradigma serta menautkan simpul penanggulangan DBD dalam satu koneksitas terpadu. Sinergitas yang dibentuk adalah teknologi wolbachia sebagai transformasi kesehatan yang bertitik tolak kepada kemandirian kesehatan, legislasi kebijakan, kemitraan kesehatan dan ketahanan, kesiapan geomedik dan kebencanaan terangkum dalam tiga kerangka trilogi kesehatan yaitu Sistem Kesehatan Nasional, Sistem Kesehatan Pertahanan dan Gerakan Masyarakat Sehat (Germas)

           

Kesimpulan

            Teknologi Wolbachia merupakan terobosan yang membuka simpul hulu dan hilir Demam Berdarah Dengue bergerak dinamis dalam arena kesehatan preventif yang merekatkan multifaktorial dan faktor prediktif perjalanan klinis DBD sebagai peta jalan protektif yang didukung oleh sinergitas ketahanan dan kesehatan, untuk memperkuat sumber daya komunitas memiliki kualitas hidup sehat dan produktivitas kerja lebih baik

Kepustakaan:GU DIAGNOSIS,

WHO. 2009. Dengue: Treatment, Prevention, and Control New Edition

https://iris.who.int/bitstream/handle/10665/44188/9789241547871_eng.pdf?sequence=1

WHO. 2011.Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue, and Dengue Hamorrahagic Fever.

https://www.aedescost.eu/sites/default/files/2023-01/WHO_SEA-Comprehensive_Guidelines_Prev%26Control_Dengue-2011.pdf

Leonard Nainggolan: Pengembangan Sistem Skor Sebagai Prediktor Kebocoran Plasma Pada Demam Berdarah Dengue: Peran sTNFR-1, VEGF, sVE - Cadherin Dalam Patofisiologi Kebocoran Plasma. Ringkasan Disertasi Doktor FKUI, 2012

Hadisaputro S. Global Warming and Incidence of Tropical Infectious Disease. Dalam

Hadi, Suharto, Nasronudi, Bramantono, Vitanata M et.al. Meningkatkan Mutu dan

Pelayanan Prima di Bidang Penyakit Tropik - Infeksi dalam menyongsong Era

Globalisasi. Buku Proseding Kongres Nasional Petri XV; 2009. h 30-40

Wholbacia Inovasi Baru dalam Penanggulangan DBD.

https://fkkmk.ugm.ac.id/wolbachia-inovasi-baru-dalam-penanggulangan-dbd/09

Lardo, S. Infeksi dan Transformasi. Republika 29 Juni 2013.

https://soroylardo.com/wp-content/uploads/2019/07/Infeksi-dan-Transformasi_Harian-Republika_29-Juni-2013.pdf

Nathan, M. B., Drager, R. D., Guzman, M. (2009) Epidemiology, burden

of disease and transmission. In: Dengue Guidelines for 125 Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. New Edition.WHO:3-17.

 

DOWNLOAD PDF WOLBACHIA DEMAM BERDARAH DENGUE:  SIMPUL KETAHANAN KESEHATAN BANGSA

           

gagasan riset bela negara

Komentar

0 Komentar